Aceh tidak hanya kaya dengan wisata alam namun juga kaya dengan wisata sejarah.
Tragedi Tsunami adalah musibah paling dahsyat yang dialami masyarakat Aceh sampai hari ini peninggalan bersejarah dari peristiwa-peristiwa tersebut masih terlihat di sekeliling masyarakat dan masih dilestarikan ataupun dijaga dimuseumkan maupun dijadikan tempat wisata sampai hari ini.
Tempat wisata kali ini yaitu Kapal yang tersangkut di Atap Rumah
Jika wisatawan ingin melihat peninggalan atau saksi
bisu dari dahsyatnya peristiwa Tsunami di Aceh, pada hari
Minggu, 26 Desember 2004 mungkin bisa melihat sebuah kapal
yang tersangkut di sebuah atap rumah warga.
Lokasinya berada di desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
Kita mungkin heran dan bingung mengapa bisa sebuah kapal
tersangkut di atap rumah?
Keunikan tersebut terjadi ketika Tsunami melanda Aceh khususnya kota Banda Aceh.
Widia pengelola wisata tersebut menceritakan kejadian kapal
yang tersangkut itu, ia mengatakan kapal ini adalah kapal
nelayan di desa Lampulo, desa Lampulo ini merupakan salah
satu desa yang terkena Tsunami.
Ia mengatakan kapal ini dibawa oleh Tsunami hingga tersangkut di salah satu rumah
warga berlantai dua yang rumah tersebut milik Pak Misbah/Ibu Abasiah yang seorang guru.
Pada hari kejadian tersebut, lanjut Widia, rumah yang memiliki
dua lantai tersebut ramai ditumpangi penduduk setempat
dikarenakan rumah yang berlantai tinggi dan kokoh sehingga
sebagian masyarakat yang ikut berlindung di dalam rumah
tersebut bisa berusaha selamat dari tragedi Tsunami.
Setelah itu, terlihat ada sebuah kapal dari sungai yang ikut
tersangkut di atap rumah tersebut.
Masyarakat yang mengungsi di rumah tersebut mengira ada pertolongan dari
kapal ketika rumahnya hampir tenggelam.
Namun bukan pertolongan hanya saja kapal kosong. Masyarakat yang
berlindung di dalam rumah tersebut segera masuk ke dalam
kapal dan diceritakan sekitar 59 orang yang selamat di dalam
juga tidak, ia mengatakan tergantung tanggal merah (hari
libur di kalender).
“Biasanya hari Minggu juga ramai, terkadang juga tidak ramai.
Tidak menentu tergantung tanggal merah ” ucapnya.
Widia juga mengatakan jadwal dibuka tempat ini setiap hari.
“Setiap harinya dibuka dan ketika shalat akan ditutup sebentar,
kalau waktu Jumat ditutup total” ujar Widia.
Salah seorang pengunjung, Yulia Oni seorang mahasiswa yang
sedang menikmati sejarah dari wisata tersebut mengatakan ia
baru perdana berkunjung ke tempat tersebut.
Yulia juga mengatakan ia tertarik dengan posisi kapal yang
tidak biasanya yaitu tersangkut di atap rumah dan merupakan
hal unik.
“Di balik itu semua ada cerita menarik tentang latar belakang
kapalnya.
Selain itu tempat ini memiliki fasilitas yang lengkap
seperti toilet, mushalla dan lingkungannya bersih” kata Yulia.
Tidak hanya Yulia, Riski atau biasa disebut Iki mahasiswa asal
Abdya mengatakan juga baru pertama berkunjung ke tempat
wisata kapal yang tersangkut di atap rumah warga.
Ia berkunjung bersama teman-temannya dalam rangka liburan
sembari mempelajari sejarah.
Iki mengatakan tempat tersebut sangat unik dan menjadi salah
satu bukti nyata betapa dahsyatnya peristiwa Tsunami di Aceh.
“Selain itu yang menarik lagi dari tempat itu yaitu dinding
rumah yang terdapat ratusan nama warga korban dari
Tsunami” ujar Iki.
Ia juga mengatakan tempat ini memiliki fasilitas yang lengkap
hanya saja Iki memberikan kritikan bahwa pengelola monumen
terebut belum terlalu royal untuk memperindah lokasi wisata.
Kemudian, bukan hanya wisatawan lokal yang berkunjung,
Widia menyebutkan ada beberapa wisatawan luar daerah
seperti dari Medan, Padang, Palembang, Jakarta bahkan dari
luar negara seperti Jerman, Australia dan Malaysia.
“Tempat wisata ini terkelola bawah dinas pariwisata kota
Banda Aceh” tuturnya.
Aturan untuk berkunjung ke wisata tersebut harus berbusana
muslim, dan dibuka dari jam 08.00 WIB sampai 18.00 WIB,
Widia juga mengatakan tidak dipungut biaya.
Namun jika ingin menyumbang atau bersedekah ada disediakan kotak amal.
Ketika berkeliling, wisatawan akan disuguhkan dengan berbagai dokumentasi-dokumentasi dari peristiwa Tsunami dan juga terdapat sedikit sejarah yang dilekatkan di dinding-dinding rumah yang bertuliskan.
“Bencana alam gempa bumi dan gelompang tsunami yang
melanda kota Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004
mengakibatkan hancurnya seluruh infrastruktur di kota Banda
Aceh serta terdamparnya sebuah kapal kayu (boat) yang
terbawa gelompang tsunami ke perumahan penduduk di
kawasan gampong (desa) Lampulo, Kecamatan Kuta Alam di
atas rumah keluarga pak Misbah/Ibu Abasiah”.
Sebelum musibah besar tersebut terjadi, kapal kayu tersebut
berada pada sungai Krueng Aceh pada tempat docking kapal di
Lampulo (tepatnya di depan gallon sekarang).
Hasri Yulian bersama Saiful Bahri (keduanya alamat Lhoknga, Aceh Besar)
selaku pengurus kapal tersebut mengintruksikan kepada Adun
selaku penjaga boat tersebut agar besok bersiap-siap pada hari
Minggu, 26 Desember 2004 kapal kayu dengan panjang 24
meter, lebar 5,5 meter dengan berat 20 ton akan diturunkan
kembali ke sungai telah dilakukan perbaikan.
T. Zulfikar selaku pemilik kapal kayu yang berdomisili di Komplek Cemara Hijau
Medan setelah menerima laporan dari adik iparnya yang
sekaligus pengurus kapal mengarahkan kapalnya untuk di
bawa ke Lhoknga (Aceh Besar) untuk diisi pukat.
Tetapi Allah SWT berkehendak lain, musibah gempa bumi dan
tsunami telah membawa kapal ini terdampar sejauh 1 km dari
tempat docking ya ke pemukiman penduduk.
Alhamdulillah Allah menyelamatkan 59 warga dalam kapal kayu tersebut.
Konon juga “setelah mereka yang berkesempatan naik ke dalam kapal kayu tersebut tidak melihat bahwa ketika air sudah mulai agak surut di bawah kapal kayu tersebut ada buaya yang lumayan besar” demikian dituturkan oleh kakak Ibu Abasiah
yang berlindung di lantai dua rumahnya sendiri dengan posisi rumahnya langsung.