Peluang Usaha dan Untung Rugi Usaha Loket Pembayaran Listrik PPOB
Sesuai dengan tema di atas, maka tulisan saya ini adalah memperkenalkan dan mungkin sedikit menceritakan “bisnis” awal yang sekarang masih saya jalani, yakni Usaha Loket PPOB. Mungkin terlalu berlebihan pula kalau saya menulis kata “bisnis”. Berlebihan menurut saya dikarenakan dengan menyebut kata “bisnis” tentunya yang ada dalam benak kita adalah usaha yang dijalankan secara besar-besaran, mungkin pula secara profesional dengan melibatkan banyak orang didalamnya, memiliki organ atau struktur yang jelas, memiliki izin usaha, dan lain-lain.
Baca Juga:
- Peluang Usaha dan Untung Rugi Usaha Loket Pembayaran Listrik
- Cara Mendapatkan Mobil Impian Tanpa
Oleh karena itu, sebut sajalah apa yang saya jalani ini adalah “Usaha kecil-kecilan” atau “usaha sampingan.” Disebut usaha kecil-kecilan, karena memang yang menjalankan hanya saya sendiri, atau paling tidak saya dan keluarga saya sendiri. Disebut usaha sampingan, karena aktivitas utama saya untuk membiayai hidup keluarga saya adalah bekerja pada perusahaan tempat saya sekarang ini. Kok bisa yah sudah bekerja atau sudah punya pekerjaan tetap yang bisa menjamin pendapatan tetap tiap bulannnya, masih saja cari tambahan dengan buka usaha?
Saya menjalankan usaha ini, salah satunya terinspirasi dari ucapan mantan rekan kerja saya dulu. Rekan saya itu berkata “saya berdosa kalau saya tidak buka usaha di rumah, dikarenakan boss kita yang notabene gaji atau penghasilannnya jauh lebih besar dari kita, masih saja cari duit di tempat lain,” entahlah benar atau salah ucapan teman saya itu, soalnya dosa manusia itu hanya Allah, SWT yang tahu. Baiklah, mari kita mulai bercerita sedikit tentang usaha kecil-kecilan saya ini.
Berawal dari saya menemukan rekening pembayaran listrik kantor istri saya, di balik lembar rekening tersebut tertera informasi tentang pihak ketiga yang melaksanakan penampungan pembayaran rekening listrik. Terlintaslah dalam benak saya untuk minta bantuan Google untuk menggali lebih dalam tentang informasi pihak ketiga tersebut.
Dengan bantuan Google, saya bisa langsung mengakses situs pihak ketiga tersebut dan mencari tahu syaratnya apa saja agar bisa menjadi mitra kerja pihak ketiga tersebut, kita sebut saja “vendor”. Sebenarnya ada beberapa alternatif vendor PPOB yang lain, tapi saya berpendapat vendor inilah yang cukup menguntungkan dari segi pembagian feen. Untuk menggali lebih dalam tentang syarat untuk menjadi mitra, saya juga berkomunikasi dengan salah seorang dari list Contact Person vendor tersebut lewat sms dan telepon langsung.
Singkat kata, akhirnya saya memberanikan diri dengan tanpa mempertimbangkan untung-ruginya, untuk menjadi agen/mitra kerja vendor tersebut dengan membuka usaha loket PPOB ini di mana salah satu syaratnya saya harus mentransfer sejumlah uang sebagai deposit awal. Dengan bermodal 1 Unit PC eksisting dan Printer dot matriks yang baru maka saya memulai usaha ini dengan memilih tempat di rumah ibu saya yang cukup ramai.
Loket Pembayaran ini disebut juga sebagai Payment Point Online Banking atau disingkat PPOB. Loket Pembayaran ini tidak hanya melayani pembayaran listrik PLN (listrik pasca bayar) saja, juga melayani pembelian token/voucher listrik prabayar,pembayaran tagihan telepon telkom, pembayaran pulsa pasca bayar, pembayaran PDAM setempat, pembelian pulsa HP, dan masih banyak lagi. Fee yang diterima dari agen tersebut bervariasi antara Rp. 750 s/d 2000 per satu kali transaksi tergantung jenis pembayaran, yang diterima dengan cara diakumulasikan pada awal bulan berikutnya, sedangkan voucher pulsa keuntungannnya kita atur sendiri dengan menetapkan margin antara harga voucher dari loket atau dari vendor dengan harga yang kita jual ke pembeli pulsa.
Sayangnya, ternyata usaha ini memiliki kekurangan: bahwa usaha ini harus mengejar jumlah transaksi yang banyak untuk meningkatkan jumlah fee dan jumlah fee pun sudah ditetapkan oleh sang vendor.
Jadi berapapun jumlah, misalkan, pembayaran listrik, feenya tetap begitu saja. Jadi pelanggan yang membayar listrik sebesar Rp. 25.000.000,- (Biasanya pelanggan korporasi) feenya sama saja dengan pelanggan yang membayar listrik Rp 50.000, – (biasanya pelanggaan rumahan).
Sementara di lain pihak usaha loket pembayaran ini harus senantiasa menyediakan sejumlah deposit yang kira-kira mencukupi untuk menampung pembayaran-pembayaran pelanggan akan listrik PLN, air PDAM, telepon TELKOM, angsuran pembayaran ADIRA, dan lain-lain.
Inilah yang menjadi kendala bagi saya, dengan modal yang terbatas untuk deposit loket akan menjadi dilema sekiranya ada pelanggan yang membayar satu rekening/satu kali transaksi dengan jumlah rupiah yang cukup besar.
Sebagai contoh pada hari ini deposit yang tersedia Rp. 10 juta, dan pada hari ini tiba-tiba ada customer/pelanggan dari kantor PT ABC yang membayar listrik 2,5 juta, telepon 1 juta, pdam 500 ribu jadi total semua 4 juta rupiah.
Jadi hanya 3 (tiga) transaksi dengan nilai yang cukup besar yang hampir mencapai setengah dari jumlah deposit, feenya cuma 6 ribu yang didapat dari 3 x 2.000 (misalkan tiap transaksi feenya 2 ribu). Misalkan pula, di hari yang lain terjadi transaksi-transaksi pembayaran rekening yang berjumlah 15 transaksi tetapi dengan nilai rupah yang kecil dengan menghabiskan deposit hari itu senilai 4 Juta rupiah, jadi keuntungan yang diperoleh adalah 15 x 1500 (ingat bahwa feenya bervariasi dari 750 s/d 2000, jadi saya mengambil nilai medium saja yakni 1500) = Rp. 22.500.-.
Coba anda bandingkan dengan deposit yang sama, satu menghasilkan Rp. 6.000, yang satunya menghasilkan Rp. 22.500,- hanya karena perbedaan jumlah transaksi, bukan karena besarnya rupiah transaksi. Hal di atas belum dikurangi dengan biaya-biaya yang menyertainya, yang tentu saja tidak boleh diabaikan. Biaya-biaya tersebut antara lain, biaya listrik untuk 1 unit PC dan Printer, biaya koneksi data, biaya makan atau operasional pegawai, biaya transportasi ke bank untuk mengisi kembali deposit.
Perlu saya tekankan di sini adalah biaya transportasi ke bank. Hampir setiap hari operator saya ke bank untuk mengisi deposit, dan kebetulan pula operator saya tidak bisa mengendarai motor yang otomatis harus menggunakan jasa ojek/bentor yang sekali pulang pergi bayar 20 ribu. Ini sebenarnya bisa disiasati dengan mengisi deposit dalam jumlah yang sangat besar, paling tidak cukup untuk menampung transaksi selama 1 minggu. Jadi seandainya tiap hari rupiah transaksi rata-rata Rp 10 juta, maka yang didepositkan paling tidak Rp. 60 juta.
Tapi apakah, mungkin bagi saya memiliki dana 60 juta rupiah? saya rasa tidak. Benar-benar sebuah dilema. Tetapi hal itu tidak membuat saya mundur, saya memutuskan dengan keyakinan penuh tetap maju menjalankan usaha Loket PPOB ini.
Sampai saat ini, riil fee yang saya dapat dari usaha ini rata-rata 350 ribu s/d 480 ribu dengan nilai deposit yang juga menggambarkan total rupiah transaksi antara 45 juta s/d 50 juta tiap bulannya.
Boleh dibilang loket PPOB saya ini belum pernah sekalipun mencapai fee sebesar 500 ribu dimana usaha ini sudah hampir 10 bulan saya jalani.
Sebagai informasi, di sistem PPOB saya ini (sistem yang disediakan PPOB saya) fee yang sebenarnya, menurut yang saya amati, –sebenarnya ada hitungan pastinya– hanyalah berkisar 60% s/d 65% dari jumlah fee yang ada di sistem, , sisanya adalah jatah fee vendor. Jadi misalkan fee akhir bulan di sistem adalah 800 ribu, riil fee yang saya dapat paling tidak hanya 60% dari 800 ribu, yakni sekitar 480 ribu.
Nanti akan saya jelaskan lebih detail pada tulisan saya yang kedua. Sesuai dengan yang saya paparkan di atas, jumlah rupiah transaksi tiap bulannya mencapai rata-rata 45 juta s/d 50 juta, jumlah itu tidak menggambarkan modal deposit saya secara rill, deposit saya hanya 3 s/d 5 juta, dari jumlah itulah yang saya sirkulasikan atau depositkan hampir setiap hari, dan di akhir bulan terakumulasi menjadi rata-rata 45 juta s/d 50 juta.
Jadi coba anda bayangkan sendiri, menguntungkan atau tidak? dengan jumlah rupiah (bukan frekuesi) transaksi yang sangat besar yakni 50 juta rupiah, keuntungan yang saya dapatkan hanya 450 ribu rupiah saja. Itu pun belum dikurangi dengan biaya operasional tiap bulannya. Untuk kasus loket PPOB saya ini biaya-biayanya antara lain, – sudah saya paparkan pula di atas- biaya transportasi yang mencapai 150 ribu tiap bulannya, biaya modem atau paket data 50 ribu, estimasi biaya listrik 100 ribu, gaji karyawan 300 ribu (kebetulan karyawan/operatornya adalah keluarga saya, jadi mau menerima gaji segitu).
Jadi total biaya operasionalnya adalah 600 ribu belum lagi biaya-biaya tidak langsung lainnya. Jadi keuntungannya di mana? kalau fee hanya 500 ribu rupiah.
Sebagai kesimpulan, membuka Usaha Loket PPOB tidak direkomendasikan jika kita tidak memiliki modal yang tidak memadai. Kecuali mungkin kita memiliki modal yang lumayan besar yang bersifat menganggur dan kita bisa fokus untuk menjalankan usaha ini dengan sungguh-sungguh.
Selain itu sebenarnya usaha ini bisa sangat menguntungkan jika kita mampu memperoleh jumlah transaksi yang sangat besar, bayangkan jika dalam satu bulan kita bisa mencapai 2000, 3000, 4000, atau bahkan 5000 transaksi tiap bulannya (2000 transaksi x fee 1500 = Rp 3 juta, 5000 transaksi x fee 1500 = Rp. 7,5 juta) dan menyetor deposit hanya satu kali, misalkan langsung menyetor deposit 200 juta. Saya yakin masih ada loket PPOB yang bisa seperti ini.
Tapi apakah mungkin bisa mencapai jumlah transaksi sebesar itu, sementara sudah banyak loket-loket PPOB sejenis di sekitar kita?
Bahkan Alfamart, Indomaret, Alfamidi sudah menyediakan layanan serupa, yang jelas-jelas menambah tingkat persaingan. Yah, namanya juga usaha. semuanya bergantung dan berpulang ke diri kita masing-masing, sejauh mana kita bisa mencapainya. Bagaimana cara menghitung fee atau keuntungan dari Usaha Loket PPOB ini, nantikan tulisan saya bagian ke dua, Sekian, Wassalam.